Pada halaman ini akan dibahas mengenai 4 Macam Kebijakan Pemerintah Kolonial di Indonesia. Semua informasi ini kami rangkum dari berbagai sumber. Semoga memberikan faedah bagi kita semua.
Salah satu kebijakan VOC ialah sifatnya yang mudah beradaptasi dengan kondisi yang ada disekitarnya. Pada tahun 1700-an, VOC berusaha menguasai daerah pedalaman yang banyak menghasilkan barang dagangan. Imperialisme pedalaman ini sasarannya kerajaan Banten dan kerajaan Mataram. Alasannya daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas seperti beras, gula merah, kacang dan lada. Oleh karena itu, VOC menerapkan sistem kebijakannya. Kebijakan tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Sistem Penyerahan Wajib oleh VOC
Dengan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh VOC, maka kongsi dagang yang sering disebut dengan kompeni ini berkembang dengan cepat. Kedudukan Portugis mulai terdesak dan bendera kompeni mulai berkibar.
Kompeni mengikat raja-raja kita dengan berbagai perjanjian yang merugikan. Makin lama kompeni makin berubah menjadi kekuatan yang tidak hanya berdagang, akan tetapi ikut mengendalikan pemerintahan di Indonesia. Kompeni mempunyai pegawai dan anggota tentara yang semakin banyak. Daerah kekuasaannya pun semakin luas.
Kompeni membutuhkan biaya besar untuk memelihara pegawai dan tentaranya. Biaya itu diambil dari penduduk. Pada zaman kompeni penduduk kerajaan diharuskan menyerahkan hasil bumi seperti beras, lada, kopi, rempah-rempah dan lain sebagainya kepada VOC. Hasil bumi itu harus dikumpulkan pada kepala desa dan untuk setiap desa ditetapkan jatah tertentu.
Kepala desa menyerahkannya kepadabupati untuk disampaikan kepada kompeni. Tentu saja kompeni tidak mendapatkannya secara gratis, tetapi juga memberi imbalan berupa harga hasil bumi itu,. Tetapi harga itu ditetapkan oleh kompeni. Lagi pula, uang harga pembelian itu tidak sampai ke tangan petani. Biasanya uang itu sudah dipotong oleh pegawai VOC ataupun oleh kepala desa pribumi.
2. Sistem Wajib Kerja (Kerja Rodi)
Setelah lebih kurang 200 tahun berkuasa, akhirnya pada tanggal 31 desember 1799, VOC seara resmi dibubarkan. Hal ini disebabkan banyak biaya perang yang dikeluarkan untuk mengatasi perlawanan penduduk, terjadinya korupsi diantara pegawainya dan timbulnya persaingan dengan kongsi dagang yang lain. Kekuasaan VOC kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.
Perubahan politi yang terjadi di Belanda merupakan pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis. Dalam revolusi tersebut, kekuasaan Raja Willem V. runtuh dan berdirilah Republik Bataaf. Tidak lama kemudian republik Bataaf juga dibubarkan dan Belanda dijadikan kerajaan di bawah pengaruh Prancis, sebagai rajanya adalah Louis Napoleon. Louis Napoleon kemudian mengirim Herman Willems Deandels sebagai gubernur jenderal dengan tugas utama mempertahankan pulau jawa dari ancaman Inggris. Juga diberi tugas mengatur pemerintahan di Indonesia. Untuk mewujudkan langkah tersebut, deandels menerapkan sistem kerja wajib (kerja rodi).
Deandels dikenal sebagai penguasa pemerintah yang sangat disiplin, keras dan kejam. Selain itu, akibat tindakannya menjual tanah milik negara kepada pengusaha swasta asing, berarti ia telah melanggar undang-undang negara. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memanggil pulang Deandels ke negeri Belanda. Deandels berkuasa di Indonesia pada tahun 1801-1811. Sebagai pengganti deandels adalah Janssens sebagai gubernur jenderal di Indonesia. Janssens ternyata sangat lemah dan kurang cakap dalam menjalankan tugasnnya, sehingga dapat dikalahkan oleh Inggris dan harus menandatangani perjanjian di tuntang yang terkenal dengan nama kapitulasi tuntang.
3. Sistem Sewa Tanah (Landrente)
Peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui kapitulasi Tuntang pada tahun 1811, menjadi awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Tahun 1811-1816 berada di Indonesia dengan bawah kekuasaan Inggris. Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai gubernur di Jawa dan bawahannya. Tujuan utama pemerintahan Raffles adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatr. Salah satu tindakannya yang populer adalah mencetuskan sistem sewa tanah (landrente). Hal tersebut tidak membebani rakyat, namun kondisi di Eropa membuat Raffles harus mengakhiri masa jabatanya di Indonesia. Perang koalisi berakhir dengan kekalahan Prancis. Negara-negara yang menjadi lawan Prancis mengambil keputusan bahwa sebagai benteng untuk menghadapi Prancis, Belanda harus kuat. Maka dari itu, dalam Traktat London tahun 1824, ditetapkan bahwa Indonesia dikembalikan kepada Belanda.
Kebijakan Deandels yang dikenal dengan nama Contingenten digante dengan sistem sewa tanah oleh Thomas Stamford Raffles. Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena senua tanah dianggap milik negara.Berikut ini pokok-pokok sistem tersebut:
Dalam pelaksanaannya, sistem sewa tanah di Indonesia mengalami kegagalan, karena:
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kebijakan Raffles pada umumnya diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama di bawah komersaris jenderal Elout, Buyskes dan Van Der Capellen pada tahun 1816-1819 dan kemudian di bawah gubernur jenderal Van Der Capellen pad tahun 1819-1826 dan komisaris jenderal Du Bus De Gisgnies pada tahun 1826-1830. Sistem sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan seorang gubernur jenderal baru, bernama Van Der Bosch pada tahun 1830 yang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien.
4. Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Cultuur stelsel (harafiah: sistem kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai sistem budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut dengan Sistem Tanam Paksa ialah peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal Johannes Van Der Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagaian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastilan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintahan kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 haru dalam setahun (20%) pada kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada tahun 1830 terjadi perubahan. Ketika itu negeri Belanda sangat payah keuangannya kerena harus membiayai perang diponogoro dan usaha mencegah Belgia memisahkan diri.
Johannes Van Der Bosch, yang kemudian menjadi gubernur jenderal mengajukan rencana untuk dapat meningkatkan produksi tanaman ekspor di Indonesia. Hasilnya dijamin akan dapat meolong keuangan Belanda. Sistem ini dinamakan cultuur stelsel yang dinamakan tanam paksa.
Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1830-1840. Pada waktu itu Belanda menikmati hasil tanam paksa yang tertinggi. Rakyar di Belanda tidak banyak mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Karena saat itu hubungan telekomunikasi belum ada dan surat kabar masih kurang. Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di Ceribon dan Demak lambat laun sampai pula terdengar di Belanda. Mereka juga mendengar tentang sikap pegawai Belanda sewenang-wenang.
Sementara itu pada tahun 1860 di Belanda terbit dua buku yang menentang tanam paksa oleh Douwes Dekker dengan nama kalangan masyarakat yang menghendaki agar tanam paksa dihapus.
Kedua buku itu ialah Max Havelaar yang dikarang oleh Douwes Dekker dengan nama samaran Murtatuli. Buku kedua ialah Suiker Contracten (kontrak gula) ditulis ileh Frans Van De Putte. Karena pendapat umum yang membalik, sejak itu tanam paksa berangsur dihapuskan. Pada tahun 1860, tanam paksa lada dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan teh. Tahun 1870 boleh dikata semua tanam paksa sudah dihapus, kecuali kopi di daerah priangan yang baru dihapuskan pada tahun 1917.
1. Sistem Penyerahan Wajib oleh VOC
Dengan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh VOC, maka kongsi dagang yang sering disebut dengan kompeni ini berkembang dengan cepat. Kedudukan Portugis mulai terdesak dan bendera kompeni mulai berkibar.
Kompeni mengikat raja-raja kita dengan berbagai perjanjian yang merugikan. Makin lama kompeni makin berubah menjadi kekuatan yang tidak hanya berdagang, akan tetapi ikut mengendalikan pemerintahan di Indonesia. Kompeni mempunyai pegawai dan anggota tentara yang semakin banyak. Daerah kekuasaannya pun semakin luas.
Kompeni membutuhkan biaya besar untuk memelihara pegawai dan tentaranya. Biaya itu diambil dari penduduk. Pada zaman kompeni penduduk kerajaan diharuskan menyerahkan hasil bumi seperti beras, lada, kopi, rempah-rempah dan lain sebagainya kepada VOC. Hasil bumi itu harus dikumpulkan pada kepala desa dan untuk setiap desa ditetapkan jatah tertentu.
Kepala desa menyerahkannya kepadabupati untuk disampaikan kepada kompeni. Tentu saja kompeni tidak mendapatkannya secara gratis, tetapi juga memberi imbalan berupa harga hasil bumi itu,. Tetapi harga itu ditetapkan oleh kompeni. Lagi pula, uang harga pembelian itu tidak sampai ke tangan petani. Biasanya uang itu sudah dipotong oleh pegawai VOC ataupun oleh kepala desa pribumi.
2. Sistem Wajib Kerja (Kerja Rodi)
Setelah lebih kurang 200 tahun berkuasa, akhirnya pada tanggal 31 desember 1799, VOC seara resmi dibubarkan. Hal ini disebabkan banyak biaya perang yang dikeluarkan untuk mengatasi perlawanan penduduk, terjadinya korupsi diantara pegawainya dan timbulnya persaingan dengan kongsi dagang yang lain. Kekuasaan VOC kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.
Perubahan politi yang terjadi di Belanda merupakan pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis. Dalam revolusi tersebut, kekuasaan Raja Willem V. runtuh dan berdirilah Republik Bataaf. Tidak lama kemudian republik Bataaf juga dibubarkan dan Belanda dijadikan kerajaan di bawah pengaruh Prancis, sebagai rajanya adalah Louis Napoleon. Louis Napoleon kemudian mengirim Herman Willems Deandels sebagai gubernur jenderal dengan tugas utama mempertahankan pulau jawa dari ancaman Inggris. Juga diberi tugas mengatur pemerintahan di Indonesia. Untuk mewujudkan langkah tersebut, deandels menerapkan sistem kerja wajib (kerja rodi).
Deandels dikenal sebagai penguasa pemerintah yang sangat disiplin, keras dan kejam. Selain itu, akibat tindakannya menjual tanah milik negara kepada pengusaha swasta asing, berarti ia telah melanggar undang-undang negara. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memanggil pulang Deandels ke negeri Belanda. Deandels berkuasa di Indonesia pada tahun 1801-1811. Sebagai pengganti deandels adalah Janssens sebagai gubernur jenderal di Indonesia. Janssens ternyata sangat lemah dan kurang cakap dalam menjalankan tugasnnya, sehingga dapat dikalahkan oleh Inggris dan harus menandatangani perjanjian di tuntang yang terkenal dengan nama kapitulasi tuntang.
3. Sistem Sewa Tanah (Landrente)
Peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui kapitulasi Tuntang pada tahun 1811, menjadi awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Tahun 1811-1816 berada di Indonesia dengan bawah kekuasaan Inggris. Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai gubernur di Jawa dan bawahannya. Tujuan utama pemerintahan Raffles adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatr. Salah satu tindakannya yang populer adalah mencetuskan sistem sewa tanah (landrente). Hal tersebut tidak membebani rakyat, namun kondisi di Eropa membuat Raffles harus mengakhiri masa jabatanya di Indonesia. Perang koalisi berakhir dengan kekalahan Prancis. Negara-negara yang menjadi lawan Prancis mengambil keputusan bahwa sebagai benteng untuk menghadapi Prancis, Belanda harus kuat. Maka dari itu, dalam Traktat London tahun 1824, ditetapkan bahwa Indonesia dikembalikan kepada Belanda.
Kebijakan Deandels yang dikenal dengan nama Contingenten digante dengan sistem sewa tanah oleh Thomas Stamford Raffles. Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena senua tanah dianggap milik negara.Berikut ini pokok-pokok sistem tersebut:
- Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan
- Hasil petabi dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati
- Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah sebagai pemilik tanah
Dalam pelaksanaannya, sistem sewa tanah di Indonesia mengalami kegagalan, karena:
- Sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda
- Sulit menentukan luas sempit dan tingkat kesuburan tanah
- terbatasnya jumlah pegawai
- Masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kebijakan Raffles pada umumnya diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama di bawah komersaris jenderal Elout, Buyskes dan Van Der Capellen pada tahun 1816-1819 dan kemudian di bawah gubernur jenderal Van Der Capellen pad tahun 1819-1826 dan komisaris jenderal Du Bus De Gisgnies pada tahun 1826-1830. Sistem sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan seorang gubernur jenderal baru, bernama Van Der Bosch pada tahun 1830 yang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien.
4. Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Cultuur stelsel (harafiah: sistem kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai sistem budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut dengan Sistem Tanam Paksa ialah peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal Johannes Van Der Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagaian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastilan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintahan kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 haru dalam setahun (20%) pada kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada tahun 1830 terjadi perubahan. Ketika itu negeri Belanda sangat payah keuangannya kerena harus membiayai perang diponogoro dan usaha mencegah Belgia memisahkan diri.
Johannes Van Der Bosch, yang kemudian menjadi gubernur jenderal mengajukan rencana untuk dapat meningkatkan produksi tanaman ekspor di Indonesia. Hasilnya dijamin akan dapat meolong keuangan Belanda. Sistem ini dinamakan cultuur stelsel yang dinamakan tanam paksa.
Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1830-1840. Pada waktu itu Belanda menikmati hasil tanam paksa yang tertinggi. Rakyar di Belanda tidak banyak mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Karena saat itu hubungan telekomunikasi belum ada dan surat kabar masih kurang. Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di Ceribon dan Demak lambat laun sampai pula terdengar di Belanda. Mereka juga mendengar tentang sikap pegawai Belanda sewenang-wenang.
Sementara itu pada tahun 1860 di Belanda terbit dua buku yang menentang tanam paksa oleh Douwes Dekker dengan nama kalangan masyarakat yang menghendaki agar tanam paksa dihapus.
Kedua buku itu ialah Max Havelaar yang dikarang oleh Douwes Dekker dengan nama samaran Murtatuli. Buku kedua ialah Suiker Contracten (kontrak gula) ditulis ileh Frans Van De Putte. Karena pendapat umum yang membalik, sejak itu tanam paksa berangsur dihapuskan. Pada tahun 1860, tanam paksa lada dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan teh. Tahun 1870 boleh dikata semua tanam paksa sudah dihapus, kecuali kopi di daerah priangan yang baru dihapuskan pada tahun 1917.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar