Pada halaman ini akan dibahas mengenai Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Semua informasi ini kami rangkum dari berbagai sumber. Semoga memberikan faedah bagi kita semua.
Kesultanan Aceh atau lengkapnya disebut dengan Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang berada di Pulau Sumatera khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam dengan ibukota kerajaan terletak di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang). Sultan pertama yang memerintah kerajaan Aceh Darussalam ialah Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1514-1528 M.
Kerajaan Aceh Darussalam terbentuk menjelang runtuhnya kerajaan Samudera Pasai. Seperti yang tercatat dalam sejarah, Samudera Pasai pada tahun 1360 M ditaklukkan oleh Majapahit. Setelah saat itu, kerajaan Samudera Pasai terus mengalami kemunduran. Jadi dapat dikatakan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam merupakan kelanjutan dari kerajaan Samudera Pasai yang didirikan dengan tujuan untuk meraih kembali kegemilangan kerajaan Islam di Nusantara.
Kerajaan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan yang terletak sangat strategis dalam jalur pelayaran. Hal ini membuat Kerajaan ini mempunyai andil yang sangat besar di mata dunia. Keberadaan kerajaan Aceh Darussalam yang pada saat itu merupakan kerajaan besar yang berkuasa mempengaruhi kehidupan-kehidupan Kerajaan Aceh, seperti kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Artikel Penunjang : Sejarah Masuk dan Berkembangan Islam di Indonesia
A. KEHIDUPAN POLITIK
Menurut Kitab Bustanus Salatin karangan Nuruddin Ar-Raniry, kerajaan Aceh berdiri setelah berhasil melepaskan diri dari Kerajaan Pedir. Berikut raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam yaitu :
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M)
Sultan Ali Mughayat Syah merupakan sultan pertama yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam. Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Aceh dapat memperluas area kekuasaan bahkan sampai ke Pattani, Thailand. Kerajaan-kerajaan lain seperti Kerajaan Peurelak (Aceh Timur), Kerajaan Pedir (Pidie), Kerajaan Daya (Aceh Barat Daya), dan Kerajaan Aru (Sumatera Utara) berhasil ditaklukkan dari kekuasaan Portugis.
Sultan Ali Mughayat Syah dikenal sangat anti dengan Portugis. Hal ini diketahui dengan berhasilnya gempuran demi gempuran yang dilakukan oleh pasukan Kerajaan Aceh dalam memukul mundur Portugis sampai ke India. Di akhir masa jabatannya, Kerajaan Aceh Darussalam sudah memperoleh kekuasaan mencakup hampir separuh wilayah Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya, hingga ke Pattani, Thailand Selatan.
Beliau juga menerapkan dasar-dasar politik luar negeri Kerajaan Aceh Darussalam yang meliputi :
- Mencukup kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar
- Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
- Bersikap waspada terhadap kolonial Barat
- Menerima bantuan tenaga ahli dari luar, dan
- Menjalankan dakwaj Islam ke seluruh Nusantara.
2. Sultan Salahuddin (1528-1537 M)
Sultan Salahuddin selama memerintah tidak dapat berbuat banyak untuk kemajuan Kerajaan Aceh Darussalam. Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosotan yang tajam. Akibatnya, beliau digantikan oleh saudaranya yang bernama Alaudin Riayat Syah Al-Kahar.
3. Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Kahar (1537-1568 M)
Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Kahar, Kerajaan Aceh Darussalam melakukan berbagai bentuk perubahan dan perbaikan dalam segala bidang. Beliau juga berusaha untuk melakukan perluasaan kekuasaan ke Kerajaan Malak, akan tetapi usaha tersebut mengalami kegagalan. Di akhir masa jabatannya, pemerintahan Kerajaan Aceh mengalami masa suram, dimana banyak terjadi pemberontakan dan perebutan kekuasaan.
4. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)
Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalam mengalami kejayaan. Kerajaan Aceh menjadi kerajaan yang besar dan berkuasa atas perdagangan Islam di dunia. Untuk mencapai masa kejayaan ini, Sultan Iskandar Muda menaklukkan kerajaan Johor dan Portugis di Semenanjung Malaya. Dengan dikuasainya daerah ini, maka daerah-daerah perdagangan semakin luas dan juga daerah-daerah penghasil lada dapat dikuasai.
Permintaan Inggris dan Belanda untuk membeli rempah-rempah dari Kerajaan Aceh Darussalam ditolak oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa kekuasannya, terdapat dua ahli tasawuf di Aceh, yaitu Syech Syamsuddin bin Abdullah As-Sumaterani dan Syech Ibrahim Asy-Syamsi. Setelah Sultan Iskandar muda meninggal, maka kekuasaannya beralih ke menantunya, Iskandar Tsani.
Berikut berturut-turut raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu :
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537 M)
3. Sultan Salahuddin Riayat Syah Al-Kahar (1537-1568 M)
4. Sultan Sri Alam (1575-1576 M).
5. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
6. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
7. Sultan Buyong (1589-1596)
8. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
9. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
10. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
11. Iskandar Thani (1636-1641).
12. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
13. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
14. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
15. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
16. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
17. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
18. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
19. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
20. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
21. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
22. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
23. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
24. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
25. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
26. Alauddin Muhammad Daud Syah.
27. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
28. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
29. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
30. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
31. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
32. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
33. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
B. KEHIDUPAN EKONOMI
Perputaran roda ekonomi masyarakat Aceh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam terletak di bidang pelayaran dan perdagangan. Perkembangan pesat yang diperoleh oleh Kerajaan Aceh dalam bidang ekonomi tidak terlepas dari pengaruh perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh raja-raja Aceh ke daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada dan menjadi jalur pelayaran dunia. Akibat perluasan kekuasaan ini, Aceh pada masa itu menjadi tempat transit sebelum para pedagang dunia melanjutkan perjalanan ke bagian Barat.
Lada dan emas menjadi komoditas utama bagi Kerajaan Aceh Darussalam. Daerah di sekitar Semenanjung Malaka yang banyak menghasilkan lada dan timah membawa keuntungan yang amat besar bagi Kerajaan Aceh. Dengan berkembangnya roda ekonomi Kerajaan Aceh, maka mereka dapat membangun armada-armada perang yang hebat. Berikut merupakan beberapa factor yang menguntungkan bagi Aceh dalam membangun perekonomiannya, yaitu :
- letak Ibukota Kerajaan Aceh yang sangat strategis, yang berada di pintu gerbang pelayaran dari India dan Timur Tengah yang akan ke Malaka, China, atau Jawa.
- Daerah Aceh yang menjadi lumbung lada. Lada dapat tumbuh subur di Aceh. oleh Karen aitu, lada merupakan komoditi ekspor utama bagi Kerajaan Aceh Darussalam
- Pelabuhan Aceh memiliki persyaratan yang baik bagi pelabuhan internasional. Pelabuhan Aceh memiliki pelindung seperti Pulau Weh, Pulau Nasi, dan Pulau Breuh dari ancaman gelombang besar.
- Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menjadi keuntungan tersendiri bagi Kerajaan Aceh. Pedagang-pedagang Islam tidak mengakui keberadaan Portugis, akibatnya mereka banyak melakukan perdagangan ke Aceh.
C. KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
Kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan seperti layaknya pemerintahan modern. Hal ini tentu dipengaruhi oleh letaknya yang strategis berada di wilayah perdagangan dunia. Kehidupan sosial budaya masyarakat Kerajaan Aceh sangat kental dengan nuansa Islamis. Terdapat satu buah hukum adat yang melandasi kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh pada saat itu, yaitu Qanun Meukuta Alam Al-Asyi.
Menurut Qanun Meukuta Alam Al-Asyi, pengangkatan sultan haruslah semufakat dengan hukum adat. Oleh karena itu, pada saat pengangkatan atau pelantikan sultan, sultan harus berdiri di atas tabal, sedangkan ulama yang memegang Al-Quran berdiri di sebelah kanan, dan perdana menteri yang memegang pedang berdiri di sebelah kiri. Beberapa kewenangan yang diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi ialah :
- Mengangkat panglima sagi dan ulebalang, pada saat pengangkatan mereka mendapat kehormatan bunyi dentuman meriam sebanyak 21 kali;
- Mengadili perkara yang berhubungan dengan pemerintahan;
- Menerima kunjungan kehormatan termasuk pedagang-pedagang asing;
- Mengangkat ahli hukum (ulama);
- Mengangkat orang cerdik pandai untuk mengurus kerajaan;
- Melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan para pejabat kerajaan.
Dalam bidang sosial, terdapat istilah Teuku yang berarti golongan kaum bangsawan yang memegang pemerintahan dan kekuasaan sipil. Sedangkan Teungku adalah golongan ulama yang memegang peranan sebagai pemuka dan pengambil keputusan penting yang berkaitan dengan kehidupan beragama.
Sultan Iskandar Muda berhasil menanamkan jiwa berdasarkan Islam di dalam kehidupan masyarakat Aceh. selain itu, masyarakat Aceh juga memiliki jiwa merdeka, membangun rasa kesatuan dan persatuan, serta anti penjajahan yang tinggi. Dengan jiwa dan semangat ke-Islaman inilah, bangsa-bangsa Barat tidak mampu menguasai Aceh secara menyeluruh, termasuk Belanda yang berperang puluhan tahun dan merupakan peperangan terlama Belanda dalam sejarah.
Artikel Penunjang : Sejarah Kerajaan Samudra Pasai
D. RUNTUHNYA KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
Setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda, maka penggantinya yaitu Sultan Iskandar Tsani masih dapat mempertahankan kejayaan kerajaan. Akan tetapi, sepeninggal Sultan Iskandar Tsani, Kerajaan Aceh Darussalam mulai dilanda konflik internal, dengan penyebabnya yaitu penolakan ulama-ulama terhadap naik tahtanya Sultanah Safiatuddin.
Pada paruh abad ke 18, Aceh sudah memulai ketegangan dengan Inggris dan Belanda yang memuncak pada abad ke 19. Pada akhir abad ke 18, wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh di wilayah Semenanjung Malaya yaitu Kedah dan Pulau Pinang berhasil direbut oleh Inggris. Puncaknya, pada 26 Maret 1873 M, Belanda menyatakan maklumat perang terhadap kerajaan Aceh. berturut-turut pada tahun 1883, 1892, dan 1893 Belanda menyerang Aceh, akan tetapi usaha ini masih membuahkan kegagalan. Belanda belum mampu untuk menguasai Aceh. Akan tetapi, kondisi ini berubah setelah seorang sarjana dari Universitas Leiden bernama Snouck Hurgronye mengusulkan perubahan taktik perang kepada pemerintahan Belanda. Dia mengatakan bahwa basis kekuatan Kerajaan Aceh bukanlah terletak pada kekuasaan sultan, akan tetapi terletak di tangan para ulama. Oleh karena itu, jika ingin menyerang Aceh, maka hancurkanlah dahulu ulama-ulama Aceh yang ada.
Taktik ini akhirnya membuahkan hasil yang menyenangkan bagi pihak Belanda. Pada tahun 1903, diangkatlah Jenderal J.B Van Heutz sebagai gubernur. Seiring dengan ini, Sultan M.Daud telah menyerah kepada Belanda, dan pada tahun 1904, hampir seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh telah diambil alih oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya, kerajaan Aceh tidak [ernah menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada pihak Belanda. Masih terdapat perlawanan-perlawanan kecil di berbagai daerah Aceh untuk mengusir Belanda.
Sebagai catatan, perang Belanda dengan Kerajaan Aceh merupakan perang terlama yang dilalui oleh Belanda sepanjang sejarah. Banyak sekali militer Belanda yang menuai ajal dengan senjata tentara-tentara Aceh. bahkan, empat jenderal Belanda tewas di tanah Aceh, yaitu Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni, dan Jenderal J.J.K de Moulin.
E. PENINGGALAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
1. Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid kebanggan rakyat Aceh ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memerinbtah kerajaan Aceh. Sultan membangun masjid ini sekitar tahun 1612 Masehi yang terletak di Banda Aceh. masjid ini sempat dibakar oleh Belanda pada saat Agresi Militer Belanda II, namun Belanda membangunnya kembali untuk meredam kemarahan rakyat Aceh.
2. Benteng Indra Patra
Sebenarnya, benteng ini telah dibangun sejak masa Kerajaan Lamuri berkuasa. Kerajaan Lamuri ialah kerajaan Hindu tertua di Aceh, tepatnya sejak abad ke 7 Masehi. Benteng ini memiliki peranan penting dalam melindungi rakyat Aceh dari serangan-serangan meriam yang diluncurkan kapal perang Portugis. Sekarang, benteng ini terletak di desa Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Kab.Aceh Besar.
3. Gunongan
Gunongan merupakan sebuah bangunan yang dibangun oleh Sultan Aceh untuk permaisurinya dari negeri Pahang. Pada saat itu, negeri Pahang telah takluk oleh kerajaan Aceh, dan seorang putri yang cantik dari kerajaan Pahang ditawan oleh Aceh. Sultan pada saat itu tertarik dan ingin mempersunting putri tersebut. Hingga akhirnya putri itu meminta dibuatkan sebuah taman yang sama persis dengan istana kerajaan nya dahulu untuk mengobati kerinduannya akan kerajaan Pahang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar