Aturan Hukuman Mati Di Indonesia dan Alasannya


Pada halaman ini akan dibahas mengenai Aturan Hukuman Mati Di Indonesia dan Alasannya. Semua informasi ini kami rangkum dari berbagai sumber. Semoga memberikan faedah bagi kita semua.
Aturan Hukuman Mati Di Indonesia dan Alasannya - Anda benar bahwa hak hidup dijamin dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Aturan Hukuman Mati Di Indonesia dan Alasannya
Dasar hukum yang menjamin hak untuk hidup di Indonesia juga terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 9 UU HAM dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunyadalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Dari penjelasan Pasal 9 UU HAM di atas dapat diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi.

Menjawab pertanyaan Anda, kita merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) yang memuat sanksi pidana mati terhadap UUD 1945.

Berkaitan dengan hal ini, di dalam artikel Terikat Konvensi Internasional Hukuman Mati Mesti Jalan Terus, diberitakan bahwa Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.

Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal.

Masih dalam artikel yang sama dijelaskan bahwa dalam konvensi tersebut Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati. Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, Pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.

Dalam pandangan MK, keputusan pembikin undang-undang untuk menerapkan hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan UU HAM sebab ancaman hukuman mati dalam UU Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat, tidak diancamkan pada semua tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut.

Lebih lanjut, melihat pada UU HAM, MK memandang bahwa UU itu juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban.

Hal lain yang juga penting diketahui adalah orang yang dijatuhi hukuman mati (terpidana mati) oleh pengadilan masih memiliki upaya hukum lain sehingga masih ada peluang tidak dihukum mati. Hal ini kami telah kami bahas dalam artikel Apakah Terpidana Mati Juga Perlu Pembinaan?

Dengan demikian, hak untuk hidup memang benar dijamin dalam konstitusi Indonesia, namun hak tersebut dapat dibatasi dengan instrumen undang-undang. Konstitusionalitas hukuman mati yang diatur sejumlah undang-undang, salah satunya UU Narkotika, juga telah diperkuat juga oleh putusan MK seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Ada pun berbagai kalahan dengan terus menerus menolak hukuman mati di indonesia, berikut 9 alasan berbagai kalahan menolak hukuman mati di Indonesia, sebagai berikut:

1. Pertama, bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional HAM. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional, khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi, serta UU UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan secara tegas bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12/2005, yang dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan hak hidup adalah suatu hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan.

2. Kedua, hukuman mati salah satu bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Hukum internasional hak asasi manusia, termasuk juga yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan kawasan telah berulangkali menegaskan bahwa praktik eksekusi hukuman mati merupakan suatu tindakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat seseorang. Oleh karenanya, selain bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR, praktik eksekusi hukuman mati juga bertentangan dengan Kovensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi Indonesia dalam hukum nasionalnya melalui UU No. 5/1998.

3. Ketiga, rapuhnya sistem peradilan pidana, sehinggga sangat terbuka peluang kesalahan penghukuman. Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, kesalahan penghukuman (wrongful conviction) menjadi sesuatu yang seringkali tak-terhindarkan dalam praktik hukum pidana.Kombinasi dari kurangnya kontrol peradilan yang efektif, khususnya terhadap panjangnya masa penahanan pra-persidangan, tiadanya suara bulat untuk suatu putusan hukuman mati, kurangnya mekanisme banding yang efektif, serta kebutuhan atas suatu proses peradilan yang fair trial, telah membuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Padahal dalam praktik hukuman mati, kesalahan penghukuman tidak mungkin lagi dapat dikoreksi (irreversible).

4. Keempat, tidak sejalan dengan arah pembaruan hukum pidana. Pemberlakuan pidana mati cenderung menekankan aspek balas dendam (retributive). Padahal di sisi lain, paradigma dalam tatanan hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah keadilan restoratif (restorative justice). Secara formal hal ini seperti mengemuka di dalam UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), maupun penegasan-penegasan rumusan di dalam Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP yang akan segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.

5. Kelima, efek jera yang ditimbulkan hukuman mati hanya mitos belaka. Menurut pandangan konvensional, hukuman mati dianggap perlu untuk mencegah seseorang agar tidak melakukan kejahatan. Sebaliknya, survey komprehensif yang dilakukan oleh PBB, pada 1988 dan 1996, menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukan bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Mayoritas panelis dan hadirin pada OHCHR Event on Abolishing the Death Penalty 2012 bahkan mengatakan, alasan efek jera adalah sebagai suatu hal yang dibesar-besarkan selama beberapa dekade terakhir.

6. Keenam, penderitaan mendalam yang dialami keluarga korban akibat eksekusi. Penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami korban atau orang yang dieksekusi semata (terpidana), tetapi juga oleh keluarganya (co-victims). Penderitaan tersebut terjadi dalam beberapa tahapan, mulai dari shock, emosi, depresi dan kesepian, gejala fisik distress, panik, bersalah, permusuhan dan kebencian, ketidakmampuan untuk kembali ke kegiatan biasa, harapan, dan penegasan realitas baru mereka.

7. Ketujuh, mengancam perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri. Laporan resmi Kementerian Luar Negeri mencatat sedikitnya 229 WNI terancam hukuman mati di luar negeri. Dari jumlah tersebut 131 orang diantaranya terjerat kasus narkotika, dan 77 orang lainnya didakwa kejahatan menghilangkan nyawa. Sikap keras pemerintah Indonesia untuk terus melanjutkan praktik eksekusi hukuman mati, tentu akan berdampak besar dan mempengaruhi upaya advokasi untuk menyelematkan ratusan WNI yang terancam hukuman mati tersebut.

8. Kedelapan, merugikan Indonesia dalam pergaulan dunia internasional. Dalam kaitannya dengan hubungan bilateral, pelaksanaan eksekusi pidana mati kepada warga negara Brasil dan Belanda mengakibatkan penarikan diri Duta Besar Brasil dan Belanda untuk Indonesia, yang diikuti dengan penundaan penerimaan surat kepercayaan Duta Besar Designate Indonesia untuk Brasil oleh Presiden Brasil. Tidak hanya itu, pemberian predikat “E” – sebagai predikat terburuk – dari Komite HAM PBB juga menjadi bukti konkrit bahwa komunitas internasional memiliki sentimen negatif atas kebijakan pemerintah Indonesia ini.

9. Kesembilan, kecenderungan internasional yang semakin meninggalkan praktik hukuman mati. Laporan Amnesty International menyebutkan, sampai dengan April 2015, sedikitnya 140 negara telah menerapkan kebijakan abolisionis terhadap hukuman mati, baik secara hukum (de jure) maupun secara praktik (de facto). Sedangkan yang masih menerapkan dan menjalankan praktik hukuman mati, tinggal 55 negara.

Referensi Artikel:
Tentang Hukuman Mati - HukumOnline.com
Tentang Alasan Menolak Hukuman Mati - elsam.or.id

Dalam:

Share:


Anda Juga Bisa Baca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar